Hari ini saya melihat berita menunjukkan bahwa Jakarta adalah salah satu kota dengan udara terburuk di dunia. Data ini diambil dari situs AirVisual yang dapat memberikan nilai indeks kualitas udara. Nilai ini berkisar dari 0-500, dengan nilai 0-50 sebagai “Baik”, 51-100, sebagai “Sedang”, 101-150 sebagai “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif”, 151-200 sebagai “Tidak Sehat”, 201-300 sebagai “Sangat Tidak Sehat”, dan 301-500 sebagai “Berbahaya”. Hari ini Jakarta sudah berada pada taraf “Tidak Sehat” dengan nilai indeks kualitas udara sebesar 158.
AirVisual adalah inisiatif yang ingin menyebarluaskan data kualitas udara, tim AirVisual menggunakan big data dan Artificial Intelligence untuk memberikan prediksi dan pemodelan data PM2.5 dan PM10. Penggunaan AI memastikan pembacaan yang lebih akurat dan terpercaya. Untuk mendapatkan datanya, AirVisual memiliki kontributor, untuk Jakarta, terdapat Greenpeace, US Embassy dan BMKG. Contoh pembacaan sensor dari BMKG dapat dilihat pada stasiun Kemayoran BMKG. Sensor BMKG yang diakses oleh AirVisual ini terdiri dari PM10 dan PM2.5, sementara Greenpeace dan US Embassy hanya menunjukkan sensor PM2.5.
Particulate Matter
Particulate Matter (PM) adalah polutan udara pada daerah urban yang paling besar dan paling berbahaya untuk kesehatan manusia. Efek PM terhadap kesehatan manusia telah dipelajari selama 20 tahun, asma, kanker paru-paru dan penyakit kardiovaskular adalah contohnya. Taraf efek kesehatan dari PM tergantung dari ukuran partikel tersebut, PM10 (10 mikrometer) dapat memasuki bronkus, PM 2.5 (2,5 mikrometer) dapat memasuki paru-paru, PM0.1 (0,1 mikrometer) dapat menembus jaringan paru-paru dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Pada tahun 2013, International Agency for Research on Cancer menyimpulkan bahwa PM bersifat karsinogenik terhadap manusia. Bahayanya polutan PM perlu diperhatikan oleh masyarakat di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.
BMKG tidak menyediakan banyak sensor PM2.5 atau PM10, hal ini wajar karena sensor berstandar internasional untuk aplikasi pemantauan kualitas udara terbilang mahal. Dari stasiun pemantauan kualitas udara yang tersedia di daerah Jakarta, hanya 3 yang berstandar internasional (sumber). Namun pengembangan sensor rendah biaya untuk deteksi PM sudah cukup baik, contohnya sensor SDS011 dari Nova Sensor yang disebut mampu menjadi basis dari jaringan sistem pemantuan PM dengan resolusi spasial tinggi. Setelah membaca penelitian ini, saya tertarik untuk membuat sistem sederhana untuk memantau PM2.5/PM10 secara personal berdasarkan sensor Nova SDS011 ini.
Namun perlu digarisbawahi, bahwa terdapat kesepahaman bahwa sensor ini memiliki banyak batasan seperti kelembaban dan error pembacaan yang dapat mencapai 10% pada kondisi-kondisi tertentu. Uji coba sementara yang ingin saya lakukan adalah hanya untuk membuat sistem konsep dengan sensor SDS011 untuk membaca dan melaporkan nilai polutan PM2.5/PM10.
Referensi: