Di tengah PPKM, kondisi udara di Jakarta tidak lebih baik dari sebelumnya. Bergantinya musim dan berkurangnya hujan menyebabkan partikel-partikel pencemar udara terakumulasi. Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa PM2.5 berbahaya untuk kesehatan masyarakat, apalagi saat adanya pandemi COVID-19 yang menyerang sistem pernapasan. Ada juga studi yang mencoba menghubungkan konsentrasi PM2.5 di area urban berpopulasi tinggi sebagai salah satu mode penularan virus SARS-CoV-2.
Untuk memantau kondisi atmosfer, Uni Eropa melalui misi Copernicus mempunyai satelit Sentinel-5P untuk memantau kondisi atmosfer dan berbagai gas pencemar. Data Sentinel-5P ini juga dipakai oleh ECMWF untuk menghasilkan data model kondisi atmosfer, salah satunya data PM2.5. Model numerik untuk PM2.5 dapat dibuat menggunakan data Aerosol Optical Depth dan data stasiun pemantauan PM2.5.
Sebelumnya di sekitaran Jakarta ada tiga sensor PM2.5, satu milik BMKG di Kemayoran, dua dimiliki oleh Kedubes Amerika Serikat, sekarang Nafas Jakarta merupakan penyedia data PM2.5 terbesar di Jakarta. Inisiatif baik seperti ini, mungkin dapat direplikasi di daerah-daerah lainnya, mungkin di tempat yang rentan terhadap kebakaran lahan gambut di Sumatra maupun Kalimantan.

Sementara inisiatif urun daya data polusi udara mulai berkembang, saya mencoba membuat sebuah aplikasi sederhana, mengambil data dari ECMWF CAMS dan menampilkan ke sebuah peta sederhana. Saya menambahkan data pembangkit listrik tenaga uap (batu bara) dan data PM2.5. Semoga percobaan singkat ini dapat bermanfaat dan bisa membuka diskursus atau diskusi lebih lanjut tentang polusi udara. Apakah mungkin kita membuat model CAMS untuk Indonesia dengan data PM2.5 di lapangan dan penginderaan jauh dari Sentinel-5P?