Pada tahun pemilihan umum 2019, sejarah Indonesia terukir, partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum melebihi ekspektasi dari penyelenggara pemilihan umum. Di tengah maraknya partisipasi masyarakat, ada hal negatif yang sangat memengaruhi masyarakat, yaitu terjadinya konflik horizontal akibat polarisasi pilihan politik. Polarisasi ini tidak kunjung usai, sejak pemungutan suara sudah dilakukan, bahkan sesudah diumumkan pemenangnya. Gerakan kampanye yang diserukan sejak tahun lalu, bahkan sampai sekarang, ibarat tidak ada hentinya. Banyak masalah politik yang muncul selama kontestasi pemilu 2019 ini. Masih disayangkan bahwa banyak sekali penggiringan opini yang dilakukan oleh elit dari kedua belah pihak dan adu kekuatan maupun kelantangan dari pendukung dua pihak. Penggiringan opini dari elit dan kekuatan pendukung menjadi sebuah akseleran yang sangat baik untuk memperparah terjadinya konflik horizontal.
Konflik horizontal ini berujung pada kekerasan yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 6 orang, namun minim pemberitaan terhadap hal ini. Aktifitas warga sekitar maupun gedung perkantoran sekitar Bawaslu menjadi terhenti selama konflik terjadi. Aksi damai pada saat matahari tenggelam berubah menjadi aksi yang disusupi banyak perusuh. Apresiasi perlu diberikan kepada bapak Prabowo Subianto yang mengajak pendukung yang masih mau mendengarkan beliau untuk mengalah dan menghindari kontak fisik. Di saat yang berbeda, dalam acara Mata Najwa, elit politik bergandengan tangan dan menyerukan damai. Kita dapat bersyukur bahwa adanya inisiatif yang baik yang dapat meredamkan suasana perpolitikan Indonesia. Namun, kita tidak boleh memungkiri adanya struggle of power antara elit kedua kubu yang membantu menyulut konflik ini.
Penolakan Hitung Cepat
Hitung Cepat adalah salah satu metodologi estimasi hasil pemungutan suara yang dilakukan berdasarkan pengambilan sampel acak sesuai dengan kaidah statistika. Selama sepuluh tahun dilaksanakannya hitung cepat oleh beberapa lembaga survey, terbukti bahwa Hitung Cepat dapat menghasilkan estimasi yang cukup akurat. Namun tahun ini, pada tahun 2019, elit politik di salah satu kubu rupanya sepakat untuk menolak hasil Hitung Cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei yang memenangkan lawan politiknya. Kalimat-kalimat dari elit inipun berujung pada agitasi di kalangan simpatisan mereka, alhasil lontaran hinaan maupun serangan personal dilayangkan kepada bos lembaga-lembaga survei. Hitung Cepat yang dibuat untuk menjaga suara rakyat dengan mendapatkan data primer langsung dari tempat pencoblosan dan mencegah adanya upaya perubahan suara rakyat, menjadi kambing hitam dari penggiringan opini.
“Hitung Cepat adalah penggiringan opini. Juragan survei adalah tukang bohong.” Inilah yang dipercaya oleh pendukung salah satu kubu. Kedua kubu percaya bahwa adanya hasil dari Hitung Cepat dapat menjadi dasar deklarasi kemenangan dari salah satu kubu. Sebuah cuplikan pembicaraan antara TGB dengan Yusuf Martak menunjukkan bahwa adanya desakan deklarasi kemenangan oleh Joko Widodo setelah Hitung Cepat sudah menunjukkan kemenangan beliau. Yusuf Martak menjelaskan bahwa kabar deklarasi Joko Widodo membuat kubu Prabowo segera melaksanakan deklarasi. Yusuf Martak juga menyatakan bahwa jika ada deklarasi kemenangan dari kubu Joko Widodo, maka akan terjadi pembentukan opini bahwa kubu Prabowo sudah kalah. Terlihat bahwa kedua kubu tahu persis apa implikasi dari hasil Hitung Cepat dan bagaimana deklarasi pemenangan terhadap mental para pendukungnya.
https://tirto.id/jubir-bpn-bachtiar-nasir-sebut-quick-count-adalah-sihir-sains-dm3n
Sihir Sains, itulah istilah yang disebutkan oleh salah satu anggota BPN, Bachtiar Nasir. Ini adalah salah satu contoh serangan terhadap lembaga Hitung Cepat. Serangan ini rupanya efektif untuk membuat masyarakat simpatisan kubu Prabowo untuk tidak percaya dengan Hitung Cepat. Padahal, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) telah membuka data masing-masing lembaga survei dan metodologi hitung cepatnya di depan publik. Data metodologi dan rumusan yang terbuka, di tambah oleh data terbuka dari KPU maupun dari inisatif KawalPemilu, siapapun dapat menghitung dan menarik kesimpulan berdasarkan hitungan yang dilakukan.
Darurat Matematika
Rakyat Indonesia sudah pintar, kata yang digaungkan oleh elit politik. Memang rakyat Indonesia sudah dapat mencari informasi sendiri, dan mampu berargumen berdasarkan informasi yang ditemukan. Namun, hal ini tidak dapat ditemukan saat Hitung Cepat dipertanyakan. Opini yang beredar di masyarakatpun terpecah dua, satu mempercayai Hitung Cepat dan satu menolak dengan keras Hitung Cepat dan menuduh lembaga survei sebagai tukang bohong. Kedua pandangan berseberangan ini adalah produk dari informasi yang tersedia di media sosial, yang disuplai oleh elit-elit politik pada masing-masing kubu tersebut. Namun, hanya sedikit masyarakat yang melihat laporan dari lembaga survei yang membuka dengan terang-benderang masalah metodologi hitung cepat.
Persamaan di atas adalah persamaan yang dipakai dalam menghitung estimasi perolehan suara berdasarkan hitung cepat dan persentase akurasinya. Lembaga Hitung Cepat membuka juga tabel ringkasan pengambilan data yang dilakukan di 34 provinsi. Namun satu hal yang belum dilaporkan oleh lembaga survey, sumber pendanaannya. Di tengah ketidakpercayaan Hitung Cepat, muncullah seorang tokoh akademisi yang menantang juragan lembaga survey. Sebelumnya, hanya tokoh-tokoh nonakademisi yang melontarkan ketidakpuasan terhadap lembaga survei. Dr. Ronnie Rusli, dosen Universitas Indonesia melayangkan argumen berdasarkan pengambilan jumlah sampel untuk Hitung Cepat.
Dr. Ronnie Rusli membawa argumen kontra-Hitung Cepat melalui rumusan yang ditulisnya di Twitter. Belakangan ini saya baru sadar melihat video paparan Dr. Ronnie di depan Bawaslu, ternyata rumus yang salah ini juga yang menjadi acuan testimoni beliau di depan Bawaslu. Saya telah menulis tentang kesalahan persamaan yang dipaparkan di Twitter (baca: Deciphering the Tweet: Kesalahan Rumus dan Syarat Quick Count). Kesalahan ini rupanya tidak hanya luput dari ribuan masyarakat yang mencuit ulang persamaan ini, tetapi juga tidak disadari oleh mereka yang berperkara di hadapan Bawaslu. Ironis, masyarakat Indonesia yang sudah menerima pelajaran statistika sejak SMP, maupun aljabar sejak SMP, tidak dapat menyadari kesalahan rumus yang sangat mendasar yang berulang kembali dilakukan oleh Dr. Ronnie, bahkan di depan Bawaslu (lihat juga: Statistika 101: Ukuran Sampel untuk Data Proporsi). Kebenaran matematik dapat disepelekan demi kepentingan politik, Indonesia ada dalam darurat matematika.
Margin of Error disampaikan 0.02% sementara seharusnya dapat digunakan rumus ini:
Substansi Ketidakpercayaan Kepada Hitung Cepat
Skeptisme terhadap Hitung Cepat bukannya tidak berdasar, berdasarkan teori statistika menggunakan Central Limit Theorem, seperti yang disampaikan oleh Dr. Ronnie, untuk mendapatkan sampel acak yang mencapai tingkat kesalahan tertentu, dapat digunakan rumus:
Rumus ini jika dimasukkan dengan nilai yang tepat akan menghasilkan 16ribu TPS untuk menghasilkan tingkat kesalahan 1 persen. Terlihat dari laporan lembaga survey, sepertinya pemilihan jumlah sampel tidak berdasarkan rumus di atas namun berdasarkan pengalaman Hitung Cepat sebelumnya. Untuk membuktikan kesahihan jumlah sampel lembaga survey dapat digunakan pendekatan empiris untuk mengambil kesimpulan.
Untuk menguji jumlah pengambilan sampel 2000 sampel, saya membuat program Stratified Random Sampling berdasarkan data dari KawalPemilu, persamaan estimasi proporsi dan variance berdasarkan laporan dari SMRC. Data mentah hasil sampel acak yang saya buat dapat dilihat pada GitHub, program tersedia pada GitHub kawal-pemilu-data. Program ini adalah usaha perbaikkan dari Penulis setelah masukan dari @RajaGuguk14. Sudah terdapat data mentah dari masing-masing TPS yang dapat dicek-ulang dan dibandingkan dengan berbagai sumber, tautan ke KawalPemilu juga diberikan. Berikut adalah tabel dengan jumlah sampel 2000.
01 SAMPLE | 02 SAMPLE | 01 KPU | 02 KPU | MOE (99%) | PerbedaanSuara |
55,36% | 44,64% | 55,50% | 44,50% | 1,20% | -0,14% |
54,88% | 45,12% | 55,50% | 44,50% | 1,34% | -0,62% |
54,86% | 45,14% | 55,50% | 44,50% | 1,40% | -0,64% |
55,01% | 44,99% | 55,50% | 44,50% | 1,43% | -0,49% |
54,86% | 45,14% | 55,50% | 44,50% | 1,45% | -0,64% |
54,87% | 45,13% | 55,50% | 44,50% | 1,47% | -0,63% |
54,98% | 45,02% | 55,50% | 44,50% | 1,48% | -0,52% |
55,12% | 44,88% | 55,50% | 44,50% | 1,48% | -0,38% |
55,23% | 44,77% | 55,50% | 44,50% | 1,49% | -0,27% |
55,23% | 44,77% | 55,50% | 44,50% | 1,49% | -0,27% |
Hasil ini tentu tidak sesuai dengan persamaan margin of error sebelumnya, di mana untuk mencapai tingkat kesalahan sebesar 1% dibutuhkan setidaknya 16000 TPS sampel. Seperti program saya sebelumnya, saya juga memasukkan sampel 1000 TPS dan menghasilkan tabulasi berdasarkan masukkan dari Dr. @saiful_mujani
01 SAMPLE | 02 SAMPLE | 01 KPU | 02 KPU | MOE (99%) | Perbedaan Suara |
54,68% | 45,32% | 55,50% | 44,50% | 1,80% | -0,82% |
54,52% | 45,48% | 55,50% | 44,50% | 1,89% | -0,98% |
54,64% | 45,36% | 55,50% | 44,50% | 1,97% | -0,86% |
54,79% | 45,21% | 55,50% | 44,50% | 2,02% | -0,71% |
54,74% | 45,26% | 55,50% | 44,50% | 2,05% | -0,76% |
54,83% | 45,17% | 55,50% | 44,50% | 2,07% | -0,67% |
54,95% | 45,05% | 55,50% | 44,50% | 2,08% | -0,55% |
55,16% | 44,84% | 55,50% | 44,50% | 2,09% | -0,34% |
55,25% | 44,75% | 55,50% | 44,50% | 2,10% | -0,25% |
55,24% | 44,76% | 55,50% | 44,50% | 2,11% | -0,26% |
Program ini belum sempurna dan masih ada kemungkinan kesalahan, namun bukti empiris berdasarkan hitungan dan dikonfirmasi oleh pengumuman KPU juga bahwa metodologi Hitung Cepat dengan Stratified Random Sampling dapat memprediksi hasil pemungutan suara dengan cukup akurat.
Kesimpulan
Kisruh berdasarkan Hitung Cepat ini seharusnya tidak perlu dibakar atau dijadikan bahan penggiringan opini dari kedua kubu. Deklarasi kemenangan berdasarkan Hitung Cepat maupun ketidakpercayaan penuh terhadap Hitung Cepat sangat rentan menghasilkan konflik horizontal. Di tengah kristalisasi, akademisi Dr. Ronnie Rusli menunjukkan rumus pengambilan sampel yang keliru, bahkan perhitungan margin of error yang keliru itu juga disebutkan di hadapan sidang Bawaslu (menit 10:35 – 11:12). Seharusnya seorang akademisi mampu memberikan informasi yang mencerahkan berdasarkan ilmunya. Berdasarkan uji coba simulasi Hitung Cepat dengan Stratified Random Sampling untuk menguji argumen Dr. Ronnie Rusli, hasil menunjukkan bahwa jumlah sampel sebesar 2000 TPS ataupun 1000 TPS sudah dapat mengestimasi hasil pemungutan suara dengan cukup akurat.
This is very attention-grabbing, You are an excessively skilled blogger.
I’ve joined your feed and look forward to searching for
more of your wonderful post. Also, I’ve shared your web site in my social networks
LikeLike